Rasanya belum lengkap menjelajah bagian tengah pulau Jawa, bila tak
mengunjungi daerah gunung Lawu. Gunung yang berada di antara provinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur ini, ternyata menyimpan banyak cerita
didalamnya. Mulai dari candi-candi, air terjun tempat bertapa, kebiasaan
memakan sate kelinci, kawah belerang, hingga kuburan raja Majapahit
dipuncak Lawu.
Dengan perhitungan yang cermat, ternyata
hampir keseluruhan lokasi menarik di area gunung Lawu tersebut, bisa
ditempuh hanya dalam waktu dua hari satu malam saja. Seperti perjalanan
yang pernah dilakukan penulis, pada akhir minggu ketiga Juli 2012 lalu.
Awal perjalanan dimulai dari kota Solo, Jawa Tengah pada pagi hari.
Dari kota Solo, ke arah Tawangmangu, kemudian menuju Sarangan.
Perjalanan menuju Sarangan dari Solo, akan melewati beberapa lokasi
peninggalan kerajaan Majapahit.
Lokasi pertama yang menarik untuk dikunjungi merupakan kompleks candi
Cetho dan Sukuh. Kompleks candi tersebut berada di kiri jalan sebelum
terminal Tawangmangu. Jalan menuju candi-candi tersebut terlihat mudah,
karena terdapat gapura besar dibagian kiri jalan. Setelah melewati
gapura, jalan akan terpecah dua lagi, menuju ke masing-masing candi.
Candi Cetho dan Sukuh berada di lereng utara, gunung Lawu. Merupakan
peninggalan terakhir yang dibangun oleh raja Majapahit terakhir,
Brawijaya V. Kompleks candi kebanyakan berisi bangunan-bangunan untuk
bersembahyang, dengan bentuk punden. Banyak hal unik dikompleks candi
tersebut. Termasuk ukiran-ukiran di dinding candi. Salah satu ukiran
yang menarik merupakan gambar tentara, yang berada di candi Sukuh. Dalam
ukiran tersebut terlihat pakaian perang yang digunakan tentara mirip
dengan yang dimiliki bangsa Arya, pembuat piramida di pegunungan Inca.
Perjalanan bisa dilanjutkan dengan keluar dulu dari kompleks candi,
dan kembali menuju jalan menuju Tawangmangu. Di dekat terminal
Tawangmangu, terdapat air terjun Grojogan Sewu yang sudah kondang
namanya. Dengan tinggi mencapai 81 meter, air terjun ini termasuk salah
satu yang tertinggi di pulau Jawa. Bisa juga menuju puncak air terjun
dengan meniti tangga didekatnya. Tapi lebih menarik berendam sebentar di
telaga bawah air terjun.
Usai berendam, biasanya perut lapar memanggil. Tak perlu repot-repot
mencari makanan, disekitar air terjun Grojogan Sewu terdapat banyak
tempat makan, yang menawarkan sate kelinci. Menurut beberapa sumber,
kebiasaan memakan sate kelinci ini juga merupakan peninggalan
orang-orang Majapahit. Kalau dulu, mungkin hanya raja yang bisa sering
makan sate kelinci, sekarang siapa saja bisa makan sate tersebut, asal
punya uang cukup.
Setelah kenyang, banyak lagi yang bisa dilihat bila melanjutkan
perjalanan ke Sarangan. Salah satunya melihat koleksi tanaman obat di
Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO). Bangunan BPTO berada di bagian
sebelah kanan jalan, sebelum pos pendakian Cemoro Kandang. Di dalam
BPTO terdapat banyak koleksi tanaman obat, yang diwariskan dari jaman
kerajaan Majapahit dulu. Ramuan dan resep untuk berbagai penyakit juga
bisa didapatkan, melalui campuran tanaman obat tersebut.
Bila perjalanan diteruskan, maka akan menemui daerah Poncolono. Di
sini dapat juga merasakan mandi dengan air belerang. Selain itu dapat
juga melihat pemandangan lepas ke arah Jawa Timur. Pemandangan dari
Poncolono akan makin indah pada saat sore hari. Pemandangan akan
terlihat luas dengan variasi pandangan antara hutan dan kota-kota kecil,
dengan liukan jalan.
Sebelum malam makin gelap, sebaiknya kembali menuju kota Tawangmangu.
Banyak terdapat penginapan dikota tersebut. Harga yang ditawarkan
bervariasi pula. Namun dengan pelayanan yang tidak mengecewakan. Paling
tidak bisa beristirahat dengan lebih nyaman, sebelum mendaki ke puncak
gunung Lawu, pada hari berikutnya.
Peninggalan Majapahit tak hanya air terjun, makan sate kelinci, dan
tanaman obat. Berjalan menuju puncak gunung Lawu, juga harus dilakukan.
Mengingat lokasi moksa raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, berada tak
jauh dari puncak Lawu.
Usahakan sepagi mungkin sudah pergi dari penginapan di Tawangmangu.
Langsung menuju pos pendakian Cemoro Kandang, yang berada disebelah kiri
jalan sebelum perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sebenarnya mendaki ke puncak gunung Lawu, lazimnya bisa ditempuh
melalui tiga jalur. Jalur pertama melalui Cemoro Sewu, Cemoro Kandang
dan jalur candi Cetho. Kalau melalui Cemoro Sewu, jalur cenderung
terjal, meskipun lebih dekat. Sementara jalur candi Cetho, terlalu jauh
karena bisa memakan waktu hingga 13 jam, hanya untuk mendaki saja. Jalur
terbaik menurut Ngarai.com adalah melalui pos pendakian Cemoro Kandang.
Karena jalur cenderung datar, sehingga dapat ditempuh oleh berbagai
umur, asalkan memiliki stamina sehat untuk mendaki gunung. Sementara
masalah waktu tempuh, jalur Cemoro Kandang sebenarnya hanya berbeda
waktu tempuh sedikit lebih lama, daripada jalur Cemoro Sewu.
Setelah melakukan proses perijinan di pos pendakian Cemoro Kandang,
perjalanan dimulai menuju Pos 1 yang bernama Taman Sari Bawah. Pos 1 ini
berada di ketinggian 2.300 meter diatas permukaan laut (mdpl). Jarak
tempuhnya hanya sekitar satu jam dari pos awal Cemoro Kandang.
Menuju Pos 2 yang bernama Taman Sari Atas, kondisi jalur tak banyak
berubah. Dominan dipenuhi tumbuhan pohon kecil dipinggir jalur.
Keseluruhan trek dapat dengan mudah dilewati, karena sangat jelas dan
tidak memiliki kemiringan terjal. Di Pos 2 dapat juga melihat kawah
Candradimuko, yang masih kerap mengepulkan asap tebal.
Setelah melewati dua buah jalan lembah memutar, akan ditemui pos
bayangan.
Dari pos 2 ke pos bayangan, bisa ditempuh hanya dalam waktu 30
menit. Jalur kemudian mulai menanjak dari pos bayangan menuju pos 3,
atau sering disebut Penggik. Jalur menuju Penggik ini diperkirakan
menjadi yang terjauh, karena bisa menempuh waktu sampai 90 menit. Namun
keindahan gunung Lawu mulai terlihat dijalur menuju pos 3 tersebut,
karena hutan mulai terbuka dan menyajikan panorama pegunungan disekitar
Lawu.
Menuju pos 4, perjalanan makin terasa berat karena mendaki, dan
kebanyakan berisi tanah bebatuan keras. Namun bila sudah mencapai pos 4,
rasa lelah seketika hilang. Pos 4 atau dikenal sebagai Cokro Suryo
merupakan tanah datar yang berada diantara beberapa puncakan bukit.
Kebanyakan alas tanah dipenuhi rumput, sehingga terasa sejuk bila
sebentar berbaring diatasnya. Diantara rumput-rumput itu juga tersisa
sebuah tempat persembahan, yang hingga kini masih dipergunakan oleh
orang-orang yang khusus datang untuk melakukan ritual.
Dari Cokro Suryo, perjalanan dilanjutkan dengan membelah sadel
punggungan bukit. Setelah sadel, puncak gunung Lawu, yang disebut Hargo
Dumilah akan terlihat dikejauhan. Namun sebelum mencapai puncak harus
melewati dulu jalan datar memutar menuju ke bagian belakang sisi puncak.
Kemudian akan ditemukan pertigaan, yang bila diteruskan akan menuju
jalur Cemoro Sewu. Bila merasa lapar dan kurang membawa makanan, bisa
meneruskan dahulu ke jalur Cemoro Sewu tersebut, karena akan menemukan
warung Mbok Yem. Warung tersebut selalu buka setiap waktu, dan siap
menerima tamu dengan pelayanan semampunya. Bila terasa masih mampu, di
pertigaan sebelum warung Mbok Yem, ambil jalur ke kanan yang menuju
puncak. Setelah berjalan mendaki selama kurang lebih 30 menit maka akan
ditemui tugu besar bernama Hargo Dumilah, yang juga merupakan puncak
dari gunung Lawu.
Tak jauh dari warung Mbok Yem terdapat lokasi moksa, raja Brawijaya
V. Disana terdapat bangunan dengan dua pilar didepannya. Biasanya di
awal bulan Muharram banyak orang yang datang, untuk melakukan ritual
penyembahan di lokasi moksa raja Brawijaya V, yang disebut Hargo Dalem
ini.
Total pendakian ke puncak Lawu, dari Cemoro Kandang bisa ditempuh
selama enam jam. Sementara waktu turun bisa empat jam, melalui jalur
yang sama. Jadi hanya perlu 10 jam untuk naik dan turun di gunung Lawu.
Dengan waktu tak terlalu lama seperti itu disarankan tidak terlalu
banyak membawa peralatan untuk mendaki. Sediakan air dan makanan
seperlunya, dan persiapkan juga sarana transportasi untuk membawa
kembali ke Solo pada malam hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar